Adam Ilyas – Reformasi KUHP: Cermin yang Menggugat Nurani Bangsa. Artikel ini mengeksplorasi pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang baru disahkan dan dijadwalkan berlaku pada 2026. Di tengah upaya meninggalkan warisan kolonial, KUHP baru mengusung keadilan restoratif namun memicu kontroversi terkait kebebasan berekspresi dan privasi individu. Artikel ini mengajak pembaca merenungkan apakah reformasi KUHP ini benar-benar berlandaskan keadilan dan HAM atau sekadar bentuk baru dari pengendalian hukum.
Apa yang kita cari dalam hukum? Apakah sekadar kata-kata yang tertata rapi atau hukum yang hidup dalam nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan? Di tengah dinamika yang kerap memanas, Indonesia akhirnya mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada Januari 2023, melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2023. Ini adalah tonggak sejarah, menggantikan KUHP warisan kolonial yang usang dan sering kali tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat kita.
Meski telah disahkan, KUHP baru ini baru akan berlaku pada Januari 2026, memberi ruang bagi masyarakat, penegak hukum, dan pemerintah untuk beradaptasi dan mensosialisasikan aturan-aturan baru. Namun, di balik transisi ini, terdapat banyak pertanyaan yang menggantung, menuntut kita untuk menggali lebih dalam: apakah KUHP baru benar-benar berpihak pada rakyat? Apakah hukum yang seharusnya melindungi justru menjadi alat pengendalian yang membungkam?
Meninggalkan Warisan Kolonialisme, Menjemput Tantangan Baru
Dalam setiap kata dan pasal KUHP lama, kita melihat bayangan kolonialisme yang menekan dan membatasi kemerdekaan. Setiap ketentuan seakan mencerminkan masa lalu, ketika hukum digunakan sebagai alat untuk mengendalikan, bukan mengayomi. Kini, dengan KUHP baru, kita seolah ingin melepaskan rantai masa lalu itu dan menuju arah yang lebih progresif. Namun, apakah cukup hanya dengan kata-kata baru dan janji reformasi?
KUHP baru membawa sejumlah pembaruan, termasuk alternatif terhadap hukuman penjara seperti pengawasan dan layanan masyarakat, serta menghapuskan hukuman mati sebagai pidana pokok. Tetapi, meski perubahan ini tampak sebagai langkah positif, ada kontroversi yang tak terhindarkan. Beberapa pasal masih dianggap sebagai ancaman terhadap hak asasi manusia (HAM). Pasal-pasal terkait penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara, serta pengaturan mengenai kehidupan pribadi, memunculkan tanda tanya besar.
Kebebasan Berpendapat dan Penghormatan pada Privasi: Ruang yang Semakin Sempit?
Di dalam KUHP baru, kita masih menemukan aturan yang mengatur tentang penghinaan terhadap presiden dan pejabat publik. Dalam demokrasi yang sehat, kritik adalah bentuk partisipasi rakyat yang tidak boleh diberangus. Namun, dengan ancaman pidana terhadap kritik yang berlebihan, apakah kita sedang bergerak menuju pemerintahan yang semakin tertutup? Para aktivis dan pengamat hukum khawatir, pasal-pasal ini dapat digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat, terutama terhadap mereka yang paling membutuhkan suara: masyarakat marginal dan kelompok yang selama ini terpinggirkan.
Tidak hanya itu, KUHP baru juga memasuki ranah privat, mengatur kehidupan pribadi individu melalui pasal-pasal yang melarang kohabitasi dan hubungan di luar pernikahan. Beberapa kelompok masyarakat dan pengamat internasional khawatir bahwa ketentuan ini bisa berdampak buruk pada privasi individu, termasuk pada wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Bahkan, para pelaku industri pariwisata khawatir bahwa aturan ini akan merusak citra Indonesia di mata dunia sebagai destinasi wisata yang ramah.
Menyambut Keadilan Restoratif, Mengubah Paradigma Hukum Pidana
Meski demikian, ada harapan dalam pendekatan progresif yang mulai diperkenalkan. Konsep keadilan restoratif, yang menjadi bagian dari KUHP baru, menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi. Di bawah konsep ini, tujuan utama hukuman adalah pemulihan, bukan sekadar pembalasan. Hukum tidak hanya menghukum, tetapi juga memberi kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki diri dan berkontribusi kembali kepada masyarakat. Ini adalah visi yang lebih maju, bahwa hukum dapat menjadi instrumen yang menyembuhkan, bukan melulu menghukum.
Namun, apakah konsep ini akan konsisten diterapkan di lapangan? Dalam sistem yang masih bergantung pada kekuasaan, penerapan hukum secara adil adalah tantangan tersendiri. Tidak hanya dalam konteks pengadilan, tetapi juga pada tahap penegakan awal di mana interpretasi hukum sering kali bisa dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi dan politik. Seberapa jauh kita dapat memastikan bahwa konsep ini benar-benar memberikan keadilan bagi semua kalangan?
Cermin untuk Masa Depan: Mewujudkan Hukum yang Berpihak pada Rakyat
Pada akhirnya, reformasi KUHP ini adalah cermin bagi kita sebagai bangsa. Di hadapan cermin ini, kita tidak hanya melihat hukum yang tertulis, tetapi juga keberpihakan kita. Apakah kita sungguh ingin hukum yang melayani rakyat? Apakah kita berani meninggalkan warisan kontrol dan membangun hukum yang berpihak pada kebebasan dan keadilan?
Cermin reformasi ini menuntut kita untuk melihat lebih dalam, untuk bertanya pada diri sendiri: apakah KUHP baru ini benar-benar untuk rakyat atau hanya sekadar wajah baru dari aturan lama yang mengikat? Jika hukum yang kita ciptakan tidak menghormati hak asasi manusia, jika hukum hanya menjadi alat kontrol, maka kita telah kehilangan inti dari keadilan itu sendiri.
Hukum bukanlah sekadar teks atau pasal yang tertulis, tetapi nilai yang hidup dalam jiwa masyarakat. Ketika kita bicara tentang reformasi KUHP, kita tidak hanya bicara tentang aturan baru, tetapi juga tentang janji kepada generasi mendatang. Janji untuk menjadi bangsa yang tidak hanya taat hukum, tetapi juga menghormati setiap hak individu dan membela kebebasan yang menjadi bagian dari jati diri kita sebagai manusia. Inilah tugas kita, ujian bagi keberpihakan kita, untuk memastikan bahwa hukum ini bukan sekadar kata-kata, tetapi janji nyata yang hidup di dalam nurani bangsa kita.