Tulisan pertama di blog ini bukan merupakan tulisan yang apik atau tulisan yang sempurna. Tulisan ini sekadar sebuah ungkapan pemikiran hati nurani terhadap kondisi hukum di Indonesia. Barangkali jika kata atau kalimatnya susah untuk dipahami, cobalah membaca dengan emosi – hati nurani – agar dapat memaknai isi dari setiap ketikan hurufnya.
Dewasa ini, lanskap hukum Indonesia berada di persimpangan jalan. Keputusasaan publik merajalela, dipicu oleh serangkaian kasus terkenal yang dirusak oleh inkonsistensi, bias, dan ketidakadilan yang terang-terangan. Konsep “keadilan” – keadilan – terasa sulit dipahami, lilin yang berkelap-kelip di angin korupsi dan pengaruh. Untuk mengarungi krisis ini dan memulihkan kepercayaan pada sistem hukum kita, diperlukan perubahan mendasar: kita harus merangkul kewajiban hukum yang berprikeadilan.
Dengan “hukum yang berprikeadilan”, kita tidak mendukung subjektivitas atau kemauan semata. Sebaliknya, kami menganjurkan “yurisprudensi” yang dipandu oleh perpaduan yang kuat antara ketegasan hukum dan kompas moral. Pada intinya, pendekatan ini berpendapat bahwa prinsip-prinsip hukum, meskipun penting, tidak mencukupi – mereka membutuhkan pencerahan dari hati nurani, hati nurani manusia yang melekat, untuk benar-benar menavigasi nuansa keadilan.
Ini bukan panggilan untuk meninggalkan kerangka kerja hukum yang mapan. Sebaliknya, ini adalah permohonan kepada para penegak hukum, pembuat hukum, dan pelaksana hukum untuk melampaui teks undang-undang yang dingin dan menyelami inti masalah. Untuk memahami tidak hanya teknis hukum, tetapi juga kisah manusia – harapan, ketakutan, dan kerentanan – yang terukir di dalam setiap kasus.
Pendekatan yang berprikeadilan ini menuntut beberapa langkah penting:
- Sensitivitas Kontekstual: Hakim harus melampaui batas-batas silo hukum dan secara aktif mencari pemahaman tentang konteks di sekitar setiap kasus. Lingkungan budaya, sosial, dan ekonomi memainkan peran penting dalam membentuk realitas hidup konflik hukum. Mengabaikan konteks-konteks ini mengarah pada putusan yang steril dan satu dimensi yang dapat mengacaukan keadilan.
- Memupuk Akal Moral: Profesi hukum tidak dapat hanya sekadar keterampilan teknis. Hakim harus secara aktif memupuk kepekaan moral mereka, terlibat dalam dialog tentang etika, keadilan sosial, dan implikasi lebih luas dari keputusan mereka. Mereka harus menjadi pembelajar seumur hidup, terus mengasah kemampuan mereka untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, tidak hanya dengan kode hukum, tetapi juga oleh bisikan hati nurani mereka.
- Kemandirian yang Berani: Hukum yang berprikeadilan berkembang pesat di kalangan hakim yang memiliki keberanian untuk melawan tekanan eksternal dan mempertahankan keyakinan mereka. Berdiri teguh melawan campur tangan politik, bias sosial, dan bahkan godaan pribadi sangat penting untuk memastikan hasil yang adil dan benar-benar adil.
Peralihan ke arah hukum yang berprikeadilan tidak akan mudah. Ini membutuhkan upaya kolektif dari praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat sipil untuk memperjuangkan dan menegakkan prinsip-prinsipnya. Namun, imbalannya sangat besar – sistem hukum yang mencerminkan aspirasi moral rakyatnya, di mana keadilan bukanlah cita-cita yang sulit dipahami, tetapi realitas yang dapat diraba bagi semua orang.
Jalan menuju pemulihan kepercayaan pada sistem hukum Indonesia tidak hanya dilapisi dengan peraturan yang dikodifikasi, tetapi juga dengan landasan moral hukum yang berprikeadilan. Saatnya untuk bangkit menghadapi tantangan ini, untuk membangkitkan hati dan pikiran saudara kita dalam profesi hukum, dan menerangi jalan menuju masyarakat yang benar-benar adil.
Hukum adalah pilar penting dalam setiap masyarakat yang teratur. Hukum berfungsi untuk menjaga ketertiban, melindungi hak-hak individu, dan memastikan keadilan bagi semua orang. Namun, hukum tidak dapat berfungsi secara efektif jika tidak didasarkan pada nilai-nilai moral yang kuat.
Hati nurani adalah suara moral internal yang membimbing kita untuk bertindak sesuai dengan apa yang kita yakini benar. Hati nurani adalah sumber keadilan yang penting, karena membantu kita untuk melihat melampaui aturan-aturan hukum yang tertulis dan mempertimbangkan konteks dan implikasi moral dari setiap kasus.
Berhukum dengan hati nurani berarti menerapkan hukum dengan cara yang adil dan adil. Ini berarti mempertimbangkan tidak hanya fakta-fakta hukum, tetapi juga konteks dan implikasi moral dari setiap kasus. Ini juga berarti memiliki keberanian untuk berdiri teguh pada keyakinan kita, bahkan ketika itu berarti melawan tekanan eksternal.
Semoga keresahan pada tanggal 23 Januari 2024 ini tidak lagi terasa ketika para Pembaca sedang membaca tulisan ini. Biarlah tulisan ini hanya sekadar rangkaian kata yang merekam kondisi bobroknya hukum dan demokrasi di Indonesia.
Wallahu A’lam Bishawab